Entah apa yang dirasakan Arman pagi itu, terbangun dengan muka kusut dan kebingungan ia sibuk mencari-cari gelas, wajahnya nampak kehausan, seolah baru saja pulang menyeberangi gurun pasir. Dia mengambil gelas dan mengisinya dengan air, dengan tergesa-gesa ia habiskan segelas air itu tanpa mengedipkan mata.
Ia nampak ketakutan entah ada apa dan mengapa?, raut wajahnya yang begitu gelisah. Seolah ada janji yang terlupakan pagi itu, ia berdiri dan melihat kearah secarik kertas yang tertempel di tembok kamarnya. “mampus saya bakal telat nih!”. Arman kebingungan ia harusnya berangkat ke aula utama sekolahnya pagi itu. meski di kalendernya hari itu adalah tanggal merah. Ternyata hari itu di sekolahnya, ada ujian masuk keperguruan tinggi.
Arman yang duduk di kelas tiga sekolah menengah tersebut sangat ketakutan dan menggigil, bimbang memilih antara mandi dulu atau langsung berangkat saja. Kalau mandi dia akan menunda langkahnya untuk menginjakkan kaki di bangku kuliah, kalau langsung berangkat dia akan mengecewakan Sari, gadis manis pujaan hati yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya, setiap kali matanya terpejam.
Tanpa kelamaan berpikir, Arman langsung mengenakan kemeja dan celana katun panjang, yang disiapkannya kemarin. Ia mengunci pintu kosannya dan berangkat menuju sekolahnya, motor tua yang masih kece untuk merebut hati Sari dari siswa lain, masih setia mengantarkannya kemana-mana, meski tidak cukup ramah lingkungan.
Tidak lama kemudian Arman tiba di sekolahnya, namun suasana nampak hening, dia hanya berjumpa Satpam penjaga sekolah “dek kamu mau ikut ujian?” kayanya sudah telat tuh, Arman melenggang saja tanpa menghiraukan Satpam itu. Arman dengan cepat memarkir motornya di depan aula dan masuk secara diam-diam ke aula tersebut dari belakang.
Alangkah kagetnya ia ternyata Kursi nomor 44 sudah ada yang menduduki, ia mengerutkan keningnya penuh beribu tanda tanya. Tapi ia hanya pasrah di pagi itu, ia tidak mau mengganggu suasana hening, teman-temannya sedang berkonsentrasi menjawab soal ujian. Ia langsung menuju keluar ruangan dan duduk di bawah pohon depan aula sekolahnya.
Arman membolak-balik kartu ujiannya, meyakinkan diri bahwa nomor 44 itu adalah miliknya. Setelah yakin ia kembali menyimpan kartu ujiannya, kedalam tas kecil buatan ibunya. Hampir dua jam menanti mulai satu-satu temannya keluar dari aula, nampaknya ujian sudah berakhir.
Ia mencari-cari gadis pujaannya tapi tidak hadir disana, arman semakin bingung dengan hal-hal yang menimpanya pagi itu, ia kembali duduk dan merenung, sambil tertunduk dan melipat kedua kakinya, Arman seakan ingin meneteskan air matanya. Tiba-tiba ada yang menepak pundaknya dari belakang. Man, Man, kenapa kamu melamun ? Arman kaget dan menoleh, ternyata itu adalah Budi, anak Bu Surti penjual kopi di sekolahan kami, Budi memang anak yang mahir dan cerdas. Ia selalu menempati peringkat pertama di kelasku.
“Bud, nampaknya Tuhan sedang tidak adil, hari ini aku kesiangan, aku juga tidak berjumpa dengan Sari, setibanya di aula tempat dudukku ada yang menempati”. Aku heran dengan semua ini. Budi malah tidak menggubrisnya keluhannya, ia malah bercerita hal lain. ”Man masih ingat tidak dulu waktu masih duduk dikelas dua, waktu itu kamu adalah pahlawanku, ketika aku dipukuli preman pasar, gara-gara jualan kopi dan tidak bisa bayar tempat. Untungnya kamu cepat datang dengan motor bututmu itu.” Hahaaa, kami tertawa asik mengingat peristiwa itu.
Sudah seharusnya aku menolongmu saat itu bud, lagian kita satu kelas dan satu sekolahan. Tapi kamu tau nggak man?. Kalau gak ada kamu mungkin Ibuku saat ini sudah tiada, karena uang yang kupertahankan saat itu adalah untuk beliau berobat. Sekali lagi saya sangat berterima kasih Man.
Sudahlah budi, itu sudah seharusnya, saya ikhlas kok. Oh iya bagaimana ujiannya? Lancar?. Saya tidak akan meneruskan kebangku kuliah Man, saya akan disini saja bersama ibu. “Loh terus kamu keluar dari Aula ngapain?.” Tadi ketika saya masuk ke aula dan menghantar kopi untuk pengawas dari Depdiknas itu saya mendengar namamu dipanggil, dan kamu belum ada.
Saya memberanikan diri “iya pak itu saya”. Saya duduk saja di kursimu, nomor 44 itu. Lagian pengawasnya bukan dari sekolah ini, tapi saya juga ga tau hasilnya akan bagaimana. Ingat Man Tuhan itu tidak seperti yang kamu katakan. Dia Maha adil, selalu ada rencana-Nya di atas setiap peristiwa. Semoga ini semua adalah rencana baik-Nya Man.
0 komentar:
Posting Komentar