Di desa
Alangsibak ada sebuah bukit indah yang bernama Tapal, Bukit itu tidak terlalu
jauh dari pemukiman warga setempat. Bukit Tapal menjadi penopang kehidupan
warga desa, dengan dedaunan yang memancar segar, udaranya pun bersih, serta air
jernih yang menderas di lereng-lereng bukit menambah suasana tentram dan nyaman
desa tersebut.
Di sana hidup sepasang suami istri, Kehidupan
mereka sangat sederhana, Garda adalah seorang lelaki taat yang memimpin
keluarga, ia sangat dicintai istrinya yang bernama Hubbah, mereka sudah
membangun rumah tangga, sekitar dua tahun lamanya dan Tuhan telah mengaruniai
mereka seorang anak laki-laki yang
diberi nama Bardan, usianya masih empat bulan .
Hubbah sosok
ibu yang amat tertutup dalam berbusana, demi menjaga kesucian diri dan amanat
suami. Raganya
tertutup dari kepala sampai kaki
dengan cadar yang melekat di dahi, hanya sepasang bola mata yang tampak dan menerjemahkan
setiap rasa. Baginya aurat bukan hal sepele, dari pada mencari argumen sana
sini, ia lebih baik menghindari.
Pagi itu, Matahari masih menyala-nyala menyinari daun dan rerumpun belukar di sekitar rumah, Garda
sedang mencangkul kebun yang ditanami, cabe, kunyit, terong dan sayuran
lainnya, begitulah rata-rata kehidupan di desa, mereka menyederhanakan diri dan
kehidupan. Sebentar kemudian ia beristirahat dan memanggil istrinya;
“Bu,
tolonglah keluar sebentar,”
Hubbah yang
mendengar panggilan suaminya segera keluar, karena rumahnya hanya sepetak tak
berkamar, maka panggilan itu jelas terdengar.
“Iya pak,
ada apa?” ia menanyakan pada suaminya sambil menimang bayi mereka dengan
lembut.
“Bu, hari
ini bapak ada pertemuan di kota, bapak sudah lama ingin
menyampaikannya padamu.”
“Pertemuan
apa pak, apa bapak tidak kasihan melihat Bardan?. Bapak kan sudah janji, waktu
itu adalah pertemuan dan misi terakhir.”
“Iya, saya
memang sudah janji!. Tapi, mereka membutuhkan saya. Apalagi ini perintah
langsung dari bang Baiz.”
“Ya sudah
kalau begitu, terserah bapak saja.” Hubbah masuk ke rumah dengan mata yang
nampak kecewa.
Garda merasa
iba melihat keadaan istri dan anaknya, ia mempertimbangkan kembali niatnya,
sambil membuka lembar demi lembar ingatannya, ia mencoba menemukan sebuah
jawaban atas keinginannya itu dan sesekali ia menyebut nama Tuhan. ia pun
membersihkan kaki dan masuk kerumahnya yang berlantai papan. ia menyusul istrinya ke dalam rumah
Setelah agak lama
mereka berdiam diri dan tak mengucap kata, akhirnya Garda berbicara pada
istrinya.
“Bu,
izinkanlah bapak dengan ikhlas untuk pergi, ini penting, ini tugas dan perintah
agama.” Garda memelas pada istrinya.
“Perintah
siapa, agama yang mana?. Yang memerintahkan untuk menghancurkan kota dan
membunuh banyak nyawa, apakah ini yang kau sebut seorang yang taat, janji saja
sudah tak kau tepati?, apalagi yang lainnya”. Hubbah sedikit menanjakkan suaranya.
“Bukan
begitu bu, bapak yakin bapak berada di jalan yang sudah benar. Tak perlu kau
bersedih seperti itu, aku pasti pulang dengan selamat”.
“Kebenaran
siapa paaak?. Cobalah bapak tengok anak kita si Bardan, apa bapak tidak merasa iba, apakah ia akan
menerima?. Apa kau tak takut, nanti anakmu jadi sepertimu?.”
“Oh tidak bu, Bardan justru harus seperti bapaknya, gagah berani
dan selalu berada di barisan yang utama”
“Baiklah
kalau begitu, pergilah dengan nama Tuhan yang kau percaya, nampaknya bapak
sudah memantapkan hati untuk pergi”.
Hubbah pun menuju
tempat tidur, ia menidurkan Bardan dengan penuh kehati-hatian, ia kembali
memperhatikan wajah bayi mungil di sampingnya, ia menatap kenyamanan, kepolosan
dan kesucian di wajah anaknya. sesekali ia elus kepalanya dengan mengucap
banyak do’a. Ia meninabobokan Bardan, sambil berdendang lembut kidung seorang
sastrawan pinggiran desa Alangsibak.
STANZA UNTUK ZAFFA
Reduplah redup
Kecuplah kecup
Hiduplah hidup
Anakku
Sentuhlah sentuh
Tumbuhlah tumbuh
Utuhlah utuh
Anakku
Serbulah serbu
Adulah adu
Tinjulah tinju
Anakku
***
Matahari perlahan
meninggi, Garda bergegas menuju lemari ia menyiapkan pakaian dan segala
persiapan untuk berangkat ke acara pertemuan itu. Ia kerap kali menatap ke arah
anak dan istrinya yang sedang tertidur lelap, setelah semuanya di persiapkan ia
pun menghampiri istrinya.
“Bu, bangun
bu, bapak sudah mau berangkat.” Suara Garda
membangunkan istrinya untuk berpamitan.
Hubbah pun
bangun, ia menggosok-gosok matanya dan mengembalikan kesadarannya. Ia menatap
suaminya yang sudah berdiri dan siap untuk pergi.
“Apakah secepat ini bapak akan pergi, kiranya bapak takkan mempertimbangkan
kembali?” Hubbah bertanya pada suaminya.
“Iya bu,
bapak harus berangkat sekarang, karena harus tiba disana jam dua siang nanti, perjalanan
cukup jauh.”
“Baikalah
kalau begitu pak, berhati-hatilah. Bapak
tidak mau aku buatkan kopi dulu?”
“Tidak usah bu, terimakasih. Ibu jaga Bardan yah, selama bapak pergi”
“Aku akan menjaganya dari apa pun, bahkan neraka
sekalipun”. Ucap Hubbah pada suaminya.
Garda pun berpamitan, hari itu mereka sekali lagi berpelukan dan tak
lupa Garda mengecup kening istrinya. Hubbah terus menatap
langkah suaminya sampai ilalang dan jalan panjang menjadi
batas tatapan matanya. Matahari perlahan menanjak bersama
kesedihan yang di rasakan hubbah
****
Setelah
empat jam perjalanan tibalah Garda di kota Talang Berapi. Belum lama ia menyalakan rokok,
seseorang berbadan tegap menghampirinya.
“Betulkah
anda yang bernama Garda?” sapa orang tersebut.
“Ya betul,
sayalah Garda!” Jawabnya singkat
“Baiklah
kalau begitu anda ikut saya, saya orang yang dikirim bos Baiz untuk menjeput anda”
Sambil
membawa tas kepunyaan Garda, Diajaknya Garda menelusuri sebuah gang sempit dan
beberapa lorong, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah yang berpintu lebar.
Suasana disana gelap dan sedikit sekali udara yang masuk ke lorong itu.
“Baiklah
tuan, silakan masuk!. Mereka sudah menunggu tuan untuk memulai rapat
pertemuannya, biar saya yang membawa barang-barang anda ke tempat peristirahatan”. Kata
orang yang mengantarnya barusan.
Garda
mempersilahkannya untuk membawa barang-barang miliknya. Kemudian ia membuka
pintu rumah tersebut, dilihatnya orang-orang berbadan tegap dengan pakaian
lengkap, yang sudah duduk di tempatnya masing-masing
pada sebuah meja bundar, tapi orang-orang tersebut nampak baru di matanya.
“Selamat
datang saudaraku.” Bos Baiz menyambut
kedatangan garda sambil merentang tangan dengan lagak yang pongah seolah ingin
berpelukan.
Garda
menghampirinya, mereka berpelukan dan saling menepuk pundak, seperti teman
karib yang lama tak bersua.
“Baiklah,
saudara-saudaraku seiman dan setaqwa, saya adakan perkumpulan ini untuk
membicarakan misi penting kita malam nanti, kebetulan
saat ini sudah hadir tangan kanan saya, yang sangat saya percaya yaitu saudara
saya Garda”. Bos Baiz memulai rapat itu dengan mengenalkan Garda.
Lalu
kemudian seseorang dari mereka bicara “Izinkan saya memperkenalkan diri, Saya Bingo, lahir di desa Pagar batu. Pertama saya
ingin menanyakan misi apa yang akan kita laksanakan malam ini?, nampaknya kok seperti terburu-buru”.
“Saya
sengaja mengirim kabar cepat agar keberanian kalian masih tetap
hangat ketika
sampai disini. Begini saudaraku, misi kita malam ini adalah membunuh anak-anak kafir yang akan mengikuti seminar anak di taman
kota”
“Bagaimana
rencana anda bos, untuk meluluh lantakan mereka yang sesat itu?” Tanya bingo.
“Begini Bing, kita akan mempersiapkan bom di bawah
kursi-kursi taman, dan kita akan memilh satu orang yang siap meledakkan dirinya
demi keimanan dan wujud kepasrahannya. Tak ada salahnya mereka kita bunuh sejak
dini, saya hawatir anak-anak kafir itu akan menjadi penerus orang tua mereka yang
sesat itu, bukankah begitu Garda?”.
“Oh iya,
kita harus membumi hanguskan tunas-tunas kafir itu sampai ke
akar-akarnya.” Garda dengan gagah melontarkan kalimat itu.
“Baiklah, jika sudah siap dan tidak ada
pertanyaan lagi, kita jalankan misi kita
sekarang. Saya sudah merakit bomnya, dan semua sudah harus terpasang sebelum
acara tersebut dimulai” kata bos Baiz dengan lantang.
Orang-orang di
ruangan itu dengan sigap berdiri dan mengambil perlengakapan mereka, seperti
rompi anti peluru yang nantinya akan mereka tutupi dengan jubbah dan beberapa
pistol, Bingo pun mengambil bom dan meletakkannya di atas meja, setelah semua
peralatan lengkap, mereka kembali berkumpul di lingkaran meja tersebut.
“Baiklah saudaraku,
apakah semua sudah siap?” Baiz memulai pembicaraannya
“Siap!”. Serentak mereka
menjawab
“Saya sudah membuat
tiga bom rakitan untuk misi kita malam ini. Karena minimnya kiriman bahan, saya
tidak bisa membuat lebih banyak lagi dan setelah saya pertimbangkan malam ini
tidak ada bom bunuh diri, biarkan itu menjadi misi kita selanjutnya. Simpanlah
tiga bom tersebut di bawah kursi-kursi taman dan panggung acara”
“Tapi bos, bagaimana
cara kita membedakan agama mereka, ini tidak seperti yang biasa kita lakukan,
biasanya kita menghancurkan tempat-tempat peribadatan. Saya hawatir nanti malah
anak-anak yang hadir disana beserta orang tua mereka, adalah orang-orang yang berkeyakinan
dan beragama yang sama dengan kita?” Garda bertanya sambil membayangkan istri
dan wajah mungil anaknya di rumah.
“Alaaaah, Tak perlu
kau pikirkan soal itu Garda, kita sudah survey, dari narasumbernya saja kita
sudah bisa memperkirakan siapa yang akan datang. Narasumbernya itu kafir semua,
sudahlah kau mantapkan saja niatmu dan yakinlah bahwa pekerjaanmu ini atas
namaNya”.
Setelah menjawab
pertanyaan Garda. Suasana kembali menggebu, mereka berdo’a dan bersiap untuk
pergi ke taman kota.
****
Sementara di desa
Alangsibak langit terlihat mendung, awan gelap menyelimuti desa sesekali
terdengar suara petir mulai menyambar, seolah menyampaikan pesan bahwa hujan
akan segera tiba.
Hubbah sedang duduk
meratapi kepergian suaminya sambil menjaga Bardan yang sedang nyaman tertidur,
meski sesekali terganggu dengan suara-suara petir itu. Sejenak ia beranjak
menuju tungku perapian dan menyalakannya, lalu diambilnya pisau untuk memotong
sayuran dan menyiapkan makanan nanti malam.
Sambil mengupas
bawang, ia terus membayangkan suaminya sambil bergumam. “Tuhan, apakah benar
yang dikerjakan oleh suamiku itu Kau amini, jika benar bagaimana nasib
orang-orang yang Kau kasihi?, ketika melihat saudara, anak, orang tua, dan
kerabat mereka yang mati dengan cara mengenaskan. Ada yang kepalanya pecah,
matanya loncat keluar, dadanya terbelah, ususnya terburai, kaki dan tangannya
buntung bahkan ada yang hancur berkeping-keping hingga tak dikenali. Semua
karena ulah suamiku yang mengatasnamakan diriMu. Aku kira diriMu tidak
menginginkannya”. Air mata menderai di wajahnya yang kini tak lagi bercadar,
hujan pun perlahan turun dan tetesnya mulai terdengar di atap rumah.
Setelah lama memikirkan
semua itu, sesekali ia menatap Bardan yang masih lelap tertidur, Hubbah terus
memegang pisau itu, sementara langit kian gemuruh, Hubbah kembali berucap
“Tuhan, dengan semua kekurangan dan kedunguan, aku takut nanti anakku akan
seperti Garda, bapaknya yang sudah menumpahkan banyak darah orang berdosa atau
tidak berdosa, ia pun sudah mencabut banyak nyawa. Aku tidak ingin titipanMu
ini menjadi buruk seperti dia, jika benar di tempatMu ada surga dan neraka,
izinkan aku merampas nerakaMu dan menitipkan Bardan di surgaMu itu”. Dengan air
mata yang bercucuran Hubbah berdiri dan melangkahkan kaki sambil membuka
kerudungnya ia menghampiri Bardan.
Halilintar terus
bergemuruh, langit menangis kian menjadi-jadi dipeluknya Bardan sambil
membayangkan raut wajah suaminya. “Anakku maafkan ibumumu nak, Ibu tak ingin
kau tumbuh menjadi seperti bapakmu, biarlah aku yang akan menanggung semua
siksa neraka, biarlah aku yang melawanNya, bersiaplah nak, maafkan ibu,..
maafkan ibu,.. maafkan ibu,.. maafkan ibu,.. maafkan ibu. Akan ibu kembalikan
kau kepada Pemilikmu nak, tetaplah tidur, dunia dan kehidupan ini tak pantas
lagi kau tatap dengan mata suci” Ucapan itu sabagai batas rasa di antara
mereka. Hubbah mengangkat pisau yang dari tadi masih dipegangnya, sambil
mendendangkan kidung “Stanza Untuk Zaffa” Hubbah memejamkan mata dan menggorok
leher anaknya.
______
Sadang, 2015
ngeri gini endingnya. Tapi keren. jadi renungan buat perilaku kita
BalasHapusHaturnuhun a. pan belajar ti a nizar oge a.
BalasHapus