Karya terbaru!
Antosan sakedap...
Sabtu, 01 Maret 2014

Lukisan Danau Ciumirah

Hari-hari berlalu, Arman nampaknya melenggang mulus melalui masa berkabungnya. Kini kisah tentang Sarinti hanya tertata rapi di relung hatinya, pagi yang merona sering kali hadir sebagai penawar luka yang masih tersisa. Embun yang bergulir menetes di ujung daun menyegarkan matanya yang sayu.

Terlintas dalam pikirannya yang lugu untuk pergi ke danau Ciumirah, sebuah danau yang memiliki nilai keindahan tersendiri. Jaraknya pun tidak terlalu jauh. Arman sudah tidak sabar untuk  menikmati suasana dan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia mengeluarkan motor tuanya yang diselimuti jaring laba-laba dan tebalnya debu. Sudah berhari-hari Ia tidak kelu

ar dari kosannya. Nampaknya Arman mulai kangen menunggangi motor tua miliknya.

Sambil memanaskan motornya kembali Arman terngiang sosok Sarinti. Memang Sarinti telah mengukir kisah bersamanya seperti memahat di atas batu. Banyak tempat dan benda yang menjadi saksi bisu di antara mereka, hingga mustahil untuk dilupakan.

Tidak lupa Arman mengunci pintu kosannya dan Ia pun berangkat pergi dengan motor tuanya. Tapi berkendaraan di tengah-tengah kota dengan motor yang sudah lanjut usia memang tidak semudah menelan ludah sendiri. Lalu lalang kendaraan yang bigitu macet, lampu merah yang seolah menjadi Satpam di tengah-tengah jalan begitu mengganggu perjalanan. Panas menyengat pergelangan tangan dan menghantam wajah pengemudi sedikit membuat tensi darah bergejolak.

Tapi Arman tidak menggubris semua itu, bayangan akan desa kenangan dan indahnya danau Ciumirah seolah membuatnya tertidur di antara ramai dan bisingnya kendaraan. Di sepanjang jalan Arman memperhatikan setiap sudut jalan banyak baliho-baliho calon wakil rakyat yang terpampang menutupi pepohonan dan terkadang memperburuk pemandangan kota.

“Ah, ini zaman yang mengada-ada, banyak calon pemimpin yang belum sempat di kenal rakyat tapi mereka memaksakan diri untuk terkenal.” Gumamnya dalam hati di sepanjang jalan. “mereka ingin dijabat tangannya, tapi tangannya sendiri tidak pernah terulur sampai disini”. Senyum kecil menyeringai di balik kerut wajahnya.
Tak terasa gapura desa sudah menyambut, Nyiur melambai-lambai diterpa angin gunung yang dingin. Seolah menyambutnya dengan penuh harap, jalan berliku dan aspal yang hitam pekat seolah membujuk motor tuanya untuk menikmati perjalanan. Sawah-sawah terhampar luas di tepian jalan, gunung-gunung tinggi menjulang dan rindang pepohonan melindunginya dari terik mentari. “Tuhan, apakah benar surga itu ada?. Nampaknya suasana ini sekedar Ilusiku tentang nikmat Surga-Mu”. Dalam dadanya bergetar suara hati.


Beberapa menit kemudian sampailah Arman di tepian danau Ciumirah. Suasana hening membalutnya dalam dingin. Kicau burung seolah mendendangkan ayat-ayat Ilahi. Arman yang terpukau oleh pemandangan danau, seolah tak ingin matanya berkedip sedikitpun. Kalaulah bisa Ia ingin mengeluarkan paru-parunya untuk merasakan langsung sejuknya udara yang tersaji.

Dia memperhatikan sekitarnya, tidak sedikit orang yang hadir untuk menikmati keindahan Ilahi ini. Ada yang bersama keluarganya asik dengan hidangan makanan yang tersaji di antara lingkaran kecil mereka, ada yang asik memandangi danau dengan merangkul kekasih atau istrinya di tepian. Tapi matanya tertuju pada sebuah sudut. Ia melihat seseorang duduk di atas kursi dengan rambut gondrongnya “Wah, nampaknya dia sedang sendiri. Melihat rambutnya, sepertinya dia seorang seniman, penyair, atau pelukis.” Pikirannya seolah menunjukkan bahwa dia sedang penasaran hebat.

Ia melangkahkan kakinya pelan menghampiri orang tersebut. Setelah agak dekat Ia melihat kain kanvas yang tertancap pada sebuah tiang di depannya dan tangan kanannya asik memainkan kuas. Lembut jemari Pelukis itu mengayunkan kuas di atas kanvas tersebut, melebihi lembutnya jemari para penari.

“Assalamu’alaikum” Arman menyapa Pelukis tersebut . tapi sayang Pelukis itu tidak menjawab dan terus saja melukis. Arman terlihat gusar karena salamnya tidak dijawab, padahal menjawab salam itu wajib. Arman langsung duduk agak jauh dari Pelukis tersebut. Sambil menunjukkan kegusarannya ia melemparkan kerikil-kerikil kecil ke danau hingga mengeluarkan suara gemerincik di tengah danau tersebut.

Ketika Arman sedang asik melemparkan kerikil-kerikil itu, Pelukis yang sudah tidak muda lagi itu menghampirinya dengan tiba-tiba. “Apa gerangan yang sedang menimpa dirimu Nak?” Pelukis itu bertanya. Arman dengan sontak menjawab “Saya gusar terhadap anda Pak yang tidak menghiraukan salam saya. Apakah Bapak Muslim seperti saya?.”

“Maafkan saya Nak, tapi saya sudah menjawab salam di dalam hati.” Pelukis itu menjawab dengan nada bijaksana. “Tapi kan saya tidak mendengar anda menjawab salam” tukas Arman.

“Begini Nak, apa perlu saya melukiskan seluruh isi dunia ini di atas kain kanvas agarsemua orang tau bahwa dunia ini indah?. Apakah saya harus berteriak-teriak ke semua orang bahwa saya seorang Pelukis, agar mereka tau?. Atau saya harus menulis di kening saya, bahwa saya orang baik. Agar orang-orang tidak takut melihat rambut saya yang gondrong ini. Saya tidak membalas salammu karena tadi saya sedang memperhatikan sesuatu yang menyentuh perasaan saya.” Pelukis itu mencoba menjelaskan.

Dengan menundukkan kepala, Arman merasa malu atas sikapnya. “Iya Pak, perkataan Bapak ada benarnya. Allah Maha Mengetahui, dari apa yang tidak kita ketahui. Bapak sudah berapa lama melukis?, apakah bapak sering menjual lukisan-lukisan bapak?, sebab saya perhatikan, sepertinya anda sudah lama menekuni dunia melukis ini pak?”. Arman mulai mengakrabkan dirinya, dan mencoba memecah keheningan suasana.

“Saya sudah bertahun-tahun hidup dan menikmati dunia ini. Saya sudah melukis ratusan atau bahkan ribuan kali. Saya juga tidak mementingkan atau bahkan memikirkan. Saya akan menjual lukisan saya hanya sekedar untuk mendapatkan Rupiah. setiap kali saya melihat lukisan saya. Saya melihat cinta hadir dalam lukisan itu.”
Arman terperangah mendegar pemaparan Pelukis itu. “Terus kalau bapak tidak menjual lukisan-lukisan bapak. Dari mana bapak akan tau kadar dan nilai lukisan bapak?.” Arman semakin penasaran.

“Nak, saya pernah menghadiri sebuah pameran sekaligus lomba melukis di Jawa Tengah. Pada waktu itu pemenang lomba diberi hadiah uang Ratusan Juta. Saya merasa iri pada waktu itu, bahkan saya ingin menjadi seperti mereka. Saya tergiur akan nilai yang diberikan oleh pihak penyelenggara. Tapi setelah bertemu danau ini saya tahu, siapa sesungguhnya Pelukis nomor satu?.” Pelukis itu seolah sedang mengutarakan apa yang terpendam di hatinya.

Arman semakin tidak karuan dengan perasaannya, “apakah betul di danau ini ada Pelukis nomor satu di dunia?. Wah nampaknya Bapak ini sedang mengada-ada. Kalau memang ada kok saya tidak pernah mendengar kabar tentang Pelukis itu.” Gumamnya dalam hati. “lantas siapa Pelukis hebat itu Pak?, Arman mulai memperlihatan kecurigaannya.

“Kalau memang kamu penasaran dan ingin tau, siapa Pelukis itu. Berdirilah di tepian danau Ciumirah dan tataplah kedalamnya dengan menggunakan mata hati.” Ujar pelukis itu sambi kembali ke arah kanvas untuk meneruskan lukisannya.

Arman melangkahkan kakinya menuju tepian danau, seolah tidak sabar ingin tau dan berkenalan dengan Pelukis yang dimaksud. Sampai di tepian danau ia memejamkan mata dan merentangkan tangannya. Ia membuka matanya perlahan-lahan. Ia mulai memperhatikan danau tersebut. Tapi Ia hanya melihat gambaran langit, bukit-bukit, matahari dan gerak awan di danau tersebut. Sesekali ia melihat burung-burung berlalu-lalang. Dan gelombang air yang beriak. Ia kembali berbicara dalam hati “ apakah gerangan maksud Pelukis itu?”, Ia kembali berbalik dan menghampiri Pelukis tadi yang sedang asik dengan lukisannya.

Pelukis itu melirikkan matanya, Ia melihat Arman yang kembali ingin menghampirinya. Pelukis tersebut ikut berdiri dan berjalan beberapa langkah. “bagaimana Nak, apa yang kamu lihat disana?” Ia bertanya kepada Arman. “saya tidak menemukan apa-apa pak!”, jawab Arman singkat.

“Arman, Kamu pasti melihat gambaran langit, bukit-bukit, matahari dan gerak awan di danau tersebut. Sesekali kamu melihat burung-burung berlalu-lalang. Itulah lukisan terindah di mataku. Tak ada satu alasan pun yang dapat memungkiri bahwa Tuhan juga melukiskan langit di atas bumi. Itulah sebabnya saya berpikir. Seindah apapun lukisan yang di buat oleh tangan manusia, tidak akan mampu menandingi keindahan Ilahi.” Kata-kata itu berlalu dengan raut bijaksana terpancar di wajah pelukis tersebut.

Subhanallah, Arman hanya terdiam bisu, Ia bahkan tak mampu membuka sedikitpun mulutnya. Seseorang yang mulanya Ia ragukan Agamanya hanya karena tidak menjawab salam. Ternyata lebih mengenal Tuhannya dari pada dirinya sendiri.

Arman pun menegaskan “Terimakasih atas penjelasannya Pak. Saya tidak tau harus berkata apa?. "Ia Nak sama-sama". Pelukis itu menjawab dengan ikhlas.

Arman semakin terkejut ketika melihat yang dilukis oleh Pelukis itu adalah dirinya. Ia memperhatikan seluruh sudut lukisan itu. Ia melihat di pojok kanan bawah ada sebuah tanda tangan, dan dibawahnya ada tulisan Soegem. “Pak, itu kan saya tapi kok disamping saya ada seorang gadis?. Kenapa bapak melukis saya di atas kanvas milik bapak?. Apakah benar nama bapak adalah Soegem?.

“Ia Nak, betul itu dirimu. Saya melukis gadis itu karena saat kamu berdiri di tepian danau itu, saya melihat ada cinta di sampingmu. Ia Nak betul juga, Nama saya Soegema Rambu Lawang!.” Pak Soegem menjawab dengan senyum yang terpancar di antara keriput wajahnya.

Deru angin seolah hadirkan bayang Sarinti di pikiran Arman. “Andai di sampingku itu kamu” Arman kembali memejamkan matanya dan menghayati peristiwa itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
+ Follow

Join on this site
with Google Friend Connect