Karya terbaru!
Antosan sakedap...
Sabtu, 01 Maret 2014

Surat Sariti

Setelah selesai acara di Aula sekolahnya dan perbincangannya dengan Budi Berakhir, Arman memacu motor bututnya dengan kencang. Arman masih simpang siur dengan perasaannya yang masih berbenturan. Sambil menarik gasnya Ia mulai membidik setiap tepi jalan, mencari-cari warung nasi yang buka, melihat terik matahari yang mulai menyengat pergelangan tangannya, nampaknya waktu Dzuhur sudah tiba. Sampai di sudut jalan dekat kosannya yang tidak jauh dari Masjid Ia melihat ada warung nasi yang buka.


Arman memarkirkan motornya di tempat yang terlihat, takut ada yang mencuri motornya, meski motornya butut, tapi nilai sejarahnya cukup untuk mengalahkan kisah sendu Kapal Titanic. Setelah parkir motor Ia mulai bingung lagi, “mau makan dulu atau shalat dulu?” gumamnya dalam hati. “Tuhan kenapa hidup ini begitu bimbang dan ragu?”.


Di sela-sela langkah kakinya yang nampak loyo, Arman teringat akan ucapan temannya di sekolah, “hidup bukan untuk makan, tapi makan untuk hidup”. Saya ingin berjumpa dengan Yang Maha Esa di percakapan dan do’a saya nanti dalam keadaan sadar, untuk mencapai titik sadar itu, saya mesti hidup dan bertahan. “Makan dulu ah biar hidup!”, candanya dalam hati.

Semangatnya melangkah kembali tergugah, warung nasi menantinya dengan hidangan yang cukup menggoda, ada ceker, bihun, capcay, endog ceplok dan banyak makanan sunda lainnya. “Bi paket lima rebu we lah”. Arman tergesa-gesa memesan makanannya, nampaknya kondisi perut dan lambungnya saat itu memang genting.

Lima menit terlalu lama untuk menghabiskan makanannya siang itu, tidak lupa untuk membayar makanannya, Arman langsung menuju masjid dan bersiap mengambil air wudhu, ritual mensucikan diri dari hadas kecil sebelum berdo’a kepada Sang Maha Tunggal. Seusai berwudhu ia bergegas masuk masjid. Ia melihat beberapa orang yang shalat berjemaah, ia merasa janggal dan tidak bisa berkonsentrasi dalam shalatnya. Arman memperhatikan baju yang dikenakan jama’ah shalat pada waktu itu penuh warna, bahkan ada yang dipenuhi tulisan-tulisan, seingatku tulisannya begini “tandang dalam sebuah arena, bukan berarti menang”. “ Ya Allah, sampai dimana titik khusyuk yang Engkau maksudkan?”.

Arman tidak bisa berkonsentrasi pada shalatnya saat itu, banyak hal yang mengganggu. Tanda tanya kembali mengelilingi kepalanya saat itu. Meski shalatnya berakhir dengan salam. Arman melangkah keluar dan memperhatikan karpet masjid yang dipenuhi dengan gambar ka’bah dan masjid yang selalu dia cium dalam sujudnya.

Ah, agama memang rumit bagi orang yang awam sepertiku, “ya Allah, bimbinglah hamba-Mu ini dalam langkah yang Engkau ridhoi”, do’anya dalam lamunan siang yang panasnya bukan kepalang. Kembali Ia menghampiri motor kolotnya dan terbayang wajah Sari, gadis pujaan yang selalu menghantuinya. Ia cepat memacu motor tuanya menuju kosan.

Setibanya di kosan, Ia mengambil secarik kertas dan pena, nampaknya Ia akan mengirim surat kepada Sari tentang kehilangannya. “mata ini berderai api, luka ini mencumbu sukma, bersimbah mimpiku akan dirimu yang beku”, Belumlah sempat Arman menyelesaikan puisinya, matanya tertuju pada amplop kecil di belakang pintu. Ia penasaran dan mengambilnya.

Arman membuka amplop dan membaca surat itu.

Wahai Nahkodaku
“salam mentari hangat yang membuai asmara suka, cinta yang tumbuh bersama waktu , bukan isak tangis yang kuharap, tapi bumbu nikmat di akhir resep cinta yang pernah kau tawarkan. Tapi nampaknya aku lupa mengangkat masakan itu, hingga hangus dan menghitam. Nahkodaku, entah pelabuhan apa yang kutemui saat ini? Tapi nampaknya aku telah sampai di pelabuhanku sendiri.”  
                                                                                                                                                  -Sarinti

Arman tersungkur lemah membaca surat itu, nampaknya surat itu memukul KO semangat cintanya yang menggebu-gebu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
+ Follow

Join on this site
with Google Friend Connect