Karya terbaru!
Antosan sakedap...
Sabtu, 01 Maret 2014

Terlelap di Balik Semesta-Mu yang dian


Mentari yang mulai lelah perlahan bersembunyi di balik gedung-gedung kota, Arman duduk meratapi surat Sarinti di bawah sendu langit senja. Kata yang selalu terngiang senang menguasai akal dan hati, “Tapi nampaknya aku telah sampai di pelabuhanku sendiri.” Begitu menyiksa kalimat tersebut tertulis di akhir surat.

“Tuhan, hari ini nampaknya Kau sedang ingin menguji diriku yang lemah dan tidak cukup cerdas untuk menyikapi hidup.” Arman masih tertegun menatap langit senja yang diam di serambi kosan, berteman tikar lusuh dan berdebu. Ia tenggelam dalam samudra pilu dan lembah putus asa.

Di tengah hening, terdengar suara serak, memanggil-manggil namanya. Arman terjaga dari lamunan nestapanya. Ia bergegas membukakan pintu, ternyata itu sahabatnya, Baroq. Manusia super yang di ciptakan Tuhan untuk bahagia, karena senyum yang selalu terpancar dari raut muda wajahnya.

“Apa kabar Man? Lama kita tak jumpa.”  Mereka berjabat tangan dan saling mempersilakan diri untuk ambil posisi. “Kabar angin terdengar di telingaku dan menggelitik hatiku yang riang”  ujar Baroq memulai pembicaraan. “Haha,, sekedar kabar biasa Roq!, hatiku bimbang dan penuh ragu akan rekayasa Tuhan untukku di hari ini.” Arman sedikit lega dengan hadirnya Baroq di sela lamunan nestapanya.

Malam perlahan membelai suasana sepi mereka, “Roq, hari ini saya terbelenggu oleh bermacam keraguan. Siang tadi saya shalat di masjid dekat kosan, saya tidak bisa khusyu’dengan shalatku karena ma’mumnya memakai kemeja yang berwarna-warni, ada yang bergambar dan bertulisan. Saya tidak bisa khusyu’, hal itu cukup mengganggu.” Saya bergumam, “Tuhan, sampai dimana titik Khusyu’ yang Kau maksudkan?.”

Baroq yang sempat menimba ilmu di sebuah Pesantren mencoba memaknai kebimbangan yang sedang di alami sahabatnya. “Begini Man, pertanyaan itu persis sama dengan apa yang saya tanyakan dulu kepada teman saya di sebuah Forum Penulis. Dia menjelaskan, Shalat itu akan dimaknai khusyu’ dengan melihat perilaku, perkataan, dan gaya hidup orang yang shalat tersebut, kalau prilakunya baik, berarti Ia  mendirikan Shalatnya sudah cukup baik dan khusyu’, dan begitu juga sebaliknya.”

Arman tertegun mendengarkan perkataan Baroq tersebut, “wah, Kamu tambah pintar dan mahir dalam hal keagaman Roq!.” Arman memuji sahabatnya dengan nada lega. “Roq sekarang kamu kuliah dimana? kita sudah lama tidak berjumpa, saya jarang mendengar kabar tentangmu.”

“Man, sebenarnya saya pulang kesini karena saya mendengar keluarga saya sakit, yaitu pacarmu Sarinti. Sebenarnya tadi siang saya sudah kesini untuk mengantarkan surat dari Sarinti. Tapi karena kosanmu di kunci, saya letakkan surat tersebut di balik pintu.” Raut wajah Baroq terlihat sedih.

“Ternyata kamu Roq yang meletakkan surat itu, saya sedang risau dan galau, surat itu seolah membunuh mimpi saya. Saya ingin berlayar di samudera cinta ini bersamanya, tapi di akhir surat Sarinti menulis “Tapi nampaknya aku telah sampai di pelabuhanku sendiri.”Saya teringat akan janji-janji yang pernah tertulis di lubuk hati kami masing-masing Roq.

“Begini Man, tak perlu kau sedih, sebenarnya surat itu sudah didekapnya selama dua hari. Ketika Ia sakit, Ia mencoba menguatkan jemarinya demi secarik surat untuk Nahkodanya. Ia seolah sudah merasakan bahwa waktunya sudah tiba. Sarinti wafat tadi siang bertepatan dengan Adzan dzuhur Man. Kini Ia terlelap di balik semesta-Nya yang Diam. Ia telah menemukan pelabuhannya sendiri Man”.

Air mata pilu membahasahi wajahnya. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un. Arman semakin tenggelam dalam samudera pedih dan luka, Ia tertegun kaku di balik bisu dan dinginnya malam. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
+ Follow

Join on this site
with Google Friend Connect