Karya terbaru!
Antosan sakedap...
Sabtu, 01 Maret 2014

Yang Tertancap di Relung hati

Sarinti telah tiada, Ia kini terlelap di balik semesta-Nya yang diam. Arman masih tertegun kaku mendengar kabar dari Baroq. Pahit bukan sekedar rasa, namun bagai hantu yang menceritakan kembali penggalan kisah antara Arman dan Sarinti.

Arman masih tertunduk lesu, air mata tak mampu Ia bendung. “Roq, terimakasih kau sudah menceritakan semua itu. Kini aku mengerti kenapa dunia ini hanya sekilas drama. Sekeras apapun kita berusaha namun Tuhan selalu bersama keputusan-Nya sendiri.” Arman berbicara sendu, seolah menambah pilu suasana malam itu.

Baroq tidak ingin melihat sahabatnya tenggelam dalam lautan cinta yang penuh luka. “Man,Ista’inuu bi as-Shabri wa as-Shalati, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong bagimu sahabatku. Saya tidak ingin kau bersedu-sedan seperti ini. Dunia ini luas dan jalan masih panjang. Jangan biarkan Sarinti melihat kelemahanmu.” Baroq berbicara dengan nada iba.

Tak lama setelah itu Baroq berpamitan pulang, tinggalah Arman sendiri di antara kebisuan malam. Di ambilnya secarik kertas, ia mencoba menulis puisi singkat, sekedar penawar hati.

Duhai Pemilik Raga…
Begitu sakit kurasa
Duri yang tertancap di relung hati
Kau cabut, hingga kurasa sakit dan berdarah-darah
Duhai Puja…
Lautan ini begitu luas
Mustahil, aku melaluinya sendiri tanpamu
Tapi aku akan menaklukan badai
Sebelum itu!.

Belum sempat Ia menyelesaikan pusi tersebut, rasa sakit sudah tak tertahankan. Ia mencoba merebahkan badan dan memejamkan mata. Namun bayangan itu terus hadir dan menguasai isi kepala. Ia mengeluarkan dompet dari laci mejanya yang tak jauh dari tempat Ia berbaring sambil memandangi foto kekasihnya yang kini telah tiada. “sayangku, Kenapa terlalu cepat kau mendahuluiku sampai di pelabuhan itu. Sedang nahkodamu masih di tengah lautan ini sendiri.” Arman meneteskan air matanya kembali, sembari mengecup foto kekasihnya itu.

Bersama laju sang waktu, Arman terlelap dalam buaian angin dan sepinya suasana malam. Malam yang begitu hening tanpa keramaian dan lalu lalang bis kota. Tuhan seolah ingin menyelimuti Arman yang sedang tertidur lelap. Bulan perlahan mulai meninggalkan cakrawala, berganti mentari yang perlahan malu-malu menampakkan diri di sela-sela gedung yang menjulang.

Cahaya pagi mulai mendekap Arman yang masih pulas tertidur, kicau kenari dari luar jendela seolah menghardik dirinya yang masih terbujur kaku. Hingga ia terbangun dan membuka jendela kosan, yang ia sendiri tidak tahu siapa yang menutupnya. Ia melihat Pak Kumis di depan kosannya yang asik memandikan burung kenari miliknya. Ia menyaksikan mentari yang terbit begitu ikhlas berbagi cahaya. Suasana itu seolah menghapus mendung yang berkecamuk di relung hatinya.

Arman menyegerakan diri untuk cuci muka dan sikat gigi, ia menuju kamar mandi dan lansung kembali lagi ke serambi kosannya. Tidak lupa kopi hangat yang setia menemaninya di antara indahnya suasana pagi. Dalam lamun Ia bergumam. “Tuhan, duri memang tetaplah duri. Tapi duri itu Kini kau cabut. Dan aku akan menancapkan duri lain di hati ini, agar darah ini berhenti mengalir.”

Dalam hening Ia Kembali teringat raut wajah kekasih pujaannya, dalam hati Ia bicara “Maafkan aku, kukira aku tak sanggup berenang melewati lautan duka ini, hanya untuk  melihat nisanmu, do’a mungkin lebih bijaksana dari pada harus membanjiri makammu dengan air mata.” Dalam linang Arman mengenang pujaannya.


0 komentar:

Posting Komentar

 
+ Follow

Join on this site
with Google Friend Connect